Soekarno dan Api Islam
Firman Tuhan inilah yang selalu menjadi gitaku, dan ini juga yang seharusnya menjadi gitamu "Tidak akan berubah keadaan suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang berusaha mengubahnya"
(Ir. Soekarno)
Mungkin selama ini, banyak yang mengenal Bung Karno sebagai seorang tokoh nasionalis sekuler, bahkan ada juga sebagian yang menggolongkan beliau sebagai tokoh komunis Indonesia karena menawarkan konsep Nasakom ( Nasionalis, Agama dan Komunis), sebuah konsep yang pernah ia jadikan Tagline Politik di era demokrasi terpimpin.
Soekarno memang baru mempelajari islam di saat ia mulai tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto, Ibunya berasal dari Bali sedangkan ayahnya penganut islam teosofi, dibawah bimbingan Tjokro, pemikiran keagamaannya mulai tumbuh dan berkembang puncaknya ketika ia berkorenspondensi dengan A hasan, Tokoh Persis.
Dimasa pembuangannya di Endeh oleh kolonial Belanda merupakan masa - masa pembelajaran bagi Seokarno mengenai Islam, ia mulai berkenalan dengan revolusi Arab Saudi yang dilakukan oleh Ibn Saud, Pan Islamisme jamaludin Al Afghani dan Muhammad Abduh, juga dengan sekularisme Turki dibawah Mustafa Kamal, karya - karya monumental nya Muhammad Ali Jinnah, Ahmad Khan Muslim India bermazhab Ahmadiyah pun menjadi salah satu referensi favoritnya ditambah dengan surat - suratnya dengan A hasan semakin mengokohkan khazanah intelektualitasnya mengenai pemikiran ke islamannya.
Bung Karno mulai mengkritik praktik keagamaan Muslim Indonesia yang ia nilai jauh dari semangat islam, dari api islam. Muslim Indonesia terlalu kaku dan ritual an sich, terbukti dari tulisan - tulisan beliau di harian pemandangan, pandji masyarakat, "Apa sebab Turki memisahkan Agama dan negara", "Nasionalis, Islam dan Sosialisme" merupakan beberapa dari buah tulisannya yang terkenal dan yang paling terkenal tentunya "Islam Sontoloyo".
Dalam Islam Sontoloyo, bung karno mengkritik banyak Muslim yang mencoba menipu Tuhan dengan hukum Fiqih, hukum Fiqih diputar balikkan sedemikan rupa sehingga secara fiqih berbuatannya dibenarkan, dalam salah satu tulisannya "Bloodtranfusie"/ Donor darah, suatu persoalan yang ketika di zaman itu masih jadi perdebatan, ia dengan lantang mengatakan "bahwa semangat islam adalah semangat kemanusiaan, semangat humanisme, jadi tidak jadi masalah apakah seorang muslim menerima atau memberikan darahnya kepada non muslim ,bahkan dengan orang tak beragama pun sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk saling tolong menolong"
Tentu juga kita msih ingat bagaimana ketika Bung Karno walkout dari muktamar Muhammadiyah karena ia masih melihat Tabir pemisah antara perempuan dan laki-laki, ia menulis " Tabir adalah simbol perbudakan wanita", Nabi telah membebaskannya , ia juga meneruskan "Haji Agus Salim, Ulama kita pernah merobek tabir pemisah ini pada kongres Jong Islamited Bond, Tetapi mengapa kita, muhammadiyah masih memakainya.
Dalam alam pemikiran Bung Karno, Islam adalah agama yang hidup, yang membebaskan, yang mencerahkan.
0 komentar:
Posting Komentar