Soekarno: Islam Sontoloyo
Koran Pemandangan 6 April 1940
“Di dalam surat kabar Pemandangan beberapa waktu yang lalu , saya membaca satu perkabaran yang ganjil: seorang guru agama dijebloskan ke dalam bui tahanan karena ia memperkosa kehormatan salah seorang muridnya yang masih gadis kecil. Bahwa orang dijebloskan ke dalam tahanan kalau ia memperkosa gadis itu tidaklah ganjil. Dan tidak terlalu ganjil pula kalau seorang guru memperkosa seorang muridnya. Bukan karena ini perbuatan tidak bersifat kebinatangan, jauh dari itu, tetapi oleh karena memang kadang-kadang terjadi kebinatangan semacam itu. Yang saya katakana ganjil ialah caranya si guru itu “menghalalkan” ia punya perbuatan. Sungguh, kalau reportase di surat kabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah di sini kita melihat Islam Sontoloyo….!!! Suatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hokum fiqh.”
“Cobalah kita mengambil satu contoh. Islam melarang kita makan daging babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, menfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan Yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terbesar, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba Tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, menfitnah orang lain, musyrik di dalam Tuan punya pikiran dan perbuatan. Maka tidak banyak orang yang akan menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asam pun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir. Inilah gambarnya jiwa Islam sekarang ini, terlalu mementingkan kulitnya saja, tidak mementingkan isi. Terlalu terikat kepada “uiterlijke vormen” saja, tidak menyalah-nyalahkan “intrinsieke waarde”.”
“ah, saya meniru perkataan Budiman Kwadjda Kamaludin: alangkah baiknya kita disamping fiqh itu mempelajari juga sungguh-sungguh etiknya Quran, intrinsieke waardennya Quran. Alangkah baiknya pula kita meninjau sejarah yang telah lampau, mempelajari sejarah itu, melihat dimana letaknya garis menaik dan dimana letaknya garis menurun dari masyarakat Islam, akan menguji kebenaran perkataan Prof. Tor Andrea yang mengatakan bahwa juga Islam terkena fatum kehilangan jiwanya yang dinamis, sesudah lebih ingat kepada ia punya system perundang-undangan kepada ia punya ajaran jiwa. Dulupun dari Ende pernah saya tuliskan: “umumnya kita punya kyai-kyai dan kita punya ulama-ulama tak ada sedikitpun “feeling” kepada sejarah. Ya boleh saya katakana kebanyakan tak mengetahui sedikitpun sejarah itu. Mereka punya minat hanya kepada agama khusus saja, dan dari agama ini, terutama sekali bagian fiqh. Sejarah, apalagi bagian “yang lebih dalam”, yakni yang mempelajari kekuatan-kekuatan masyarakat yang menyebabkan kemajuannya atau kemunduran suatu bangsa, -sejarah itu sama sekali tak menarik mereka punya perhatian. Padahal di sini, di sinilah penyelidikan yang maha penting! Apa sebab mundur? Apa sebab maju? Apa sebab bangsa ini di jaman ini begini? Apa sebab bangsa itu di jaman itu begitu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang maha penting yang harus berputar, terus-menerus di dalam kita punya ingatan kalau kita mempelajari naik turunnya sejarah itu.
Tetapi bagaimana kita punya kyai-kyai dan ulama-ulama? Tajwid membaca Quran, hafal ratusan hadits, mahir dalam ilmu syarak, tetapi pengetahuannya tentang sejarah umumnya nihil. Paling mujur mereka hanya mengetahui “tartich Islam” saja. Dan inipun terambil dari buku-bukunya tarich Islam yang kuno, yang tak dapat tahan ujiannya ilmu pengetahuan modern.
Padahal dari tarich Islam inipun saja mereka sudah akan dapat menggali juga banyak ilmu yang berharga. Kita Umumnya mempelajari Hukum, tetapi tidak mempelajari caranya orang dulu mentanfizkan Hukum itu..
“fiqh pada waktu itu hanyalah kendaraan saja, tetapi kendaraan ini dikusiri oleh rohnya etik Islam serta tauhid yang hidup, dan ditarik oleh kuda sembrani yang di atas tubuhnya ada tertulis ayat Quran: “janganlah kamu lembek dan janganlah kamu mengeluh sebab kamu akan menang, asal kamu mukmin sejati”. Fiqh ditarik oleh agama hidup, dikendarai oleh agama hidup, disemangati agama hidup, roh agama hidup yang berapi-api dan menyala-nyala. Dengan fiqh yang demikian itu umat Islam menjadi cakrawati di separuh dunia.
Kebalikannya, bahwa sejak islam studie dijadikan fiqh studie garis kenaikan itu menjadi membelok ke bawah. Menjadi garis yang menurun. Di situlah lantas islam membeku menurut kata Essad Bey, membeku menjadi satu system formil belaka. Lenyaplah ia punya tenaga yang hidup. Lenyaplah ia punya jiwa penarik, lenyaplah ia punya ketangkasan yang mengingatkan kepada ketangkasannya harimau. Kendaraan tiada lagi punya kuda, tiada lagi punya kusir. Ia tiada bergerak lagi, ia mandeg!
Dan bukan saja mandeg! Kendaraan mandeg pun lama-lama menjadi amoh. Fiqh bukan lagi menjadi petunjuk dan pembatas hidup, fiqh kini kadang-kadang menjadi penghalalnya perbuatan-perbuatan kaum sontoloyooo…! Maka benarlah perkataannya Halide Edib Hanoum, bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini “bukan lagi agama pemimpin hidup, tetapi agama prokol-bambu”
0 komentar:
Posting Komentar