Al Quran dan Tantangan Modernitas
Abbas Mahmud Al Aqqad dalam karyanya Al Insan fi Al Quran AL Karim memperikarakan bahwa semua aliran pemikiran dan ideologi ciptaan manusia akan larut dalam bersama larutnya waktu ini, sedangkan pesan pesan yang ditimba dalam Al Quran akan tetap kokoh menghadapi tantangan zaman. Kita dapat mengatakan dengan pasti bahwa perkiraan Al Aqqad diatas akan menjadi kenyataan sejarah masa yang akan datang , tapi bahwa kini dunia sedang mencari pergantungan spiritual yang kokoh, yang tidak lagi tergoda oleh kepuasan semu, mungkin dapat kita sepakati.
Persoalannya sekarang adalah: apakah dunia akhirnya akan melirik Al Quran sebagai sumber rujukan paling sejati dari pergantungan spiritual itu, kita pun tidak bisa memastikannya. Apalagi bila kita mengingat kenyataan sosiologis umat masih seperti yang kita saksikan bersama, dimana umat islam yang mengaku mengimani Al Quran yang mayoritas berada dipelukan dunia ketiga yang dililit dengan keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan, tampaknya masih terlalu jauh untuk dijadikan sebagai pencipta dan pembawa obor peradaban segar yang mungkin menjadi altenatif bagi umat manusia. Profesor Abdus Salam dalam artikelnya berjudul, “what the third really needs”, memberikan gambaran yang tajam tentang kondisi dunia sekarang yang ditandai oleh dua macam penyakit.” Penyakit si kaya” dan “penyakit si miskin”, dengan mengatakan:
“sembilan ratus tahun yang lalu, seorang dokter islam terkenal yang tinggal di Bukhara, Asia tengah, Al Asuli, menulis sebuah medical pharmacopeia yang ia bagi menjadi dua bagian, dieses of the rich dan diseases of the poor. Seandainya Al asuli masih hidup dan menulis sekarang, saya percaya ia akan membagi pharmacopeia-nya menjadi dua bagian yang serupa. Satu bagian bukunya akan berbicara tentang ancaman pemusnahan oleh nuklir yang akan berbicara atas kemanusiaan oleh si kaya. Bagian yang kedua dari bukunya akan berbicara tentang penderitaan hebat yang ditanggung si miskin yang jumlahnya separuh dari umat manusia, dibarengi oleh kekurangan makan dan kelaparan. Ia juga akan menambahkan bahwa kedua macam penyakit ini berasal dari sebuah sebab yang sama: kelebihan ilmu dan teknologi pada kasus si kaya, dan kekurangan ilmu dan teknologi pada kasus si miskin. Barangkali ia juga akan menambahkan bahwa masih berlangsungnya jenis penderitaan kedua, keterbelakangan, lebih sulit untuk dipahami, mengingat kemiskinan, penyakit, dan mati awal bagi abad mukjizat ilmiah ini (Abdus Salam, 1988).
Baik pada periode kreatif maupun pada masa perjuangan pembebasan dari kolonialisme, umat islam telah menempatkan AlQuran pada posisi yang cukup sentral sebagai sumber petunjuk, sumber inspirasi, dan umber semangat juang,. Uniknya adalah Al Quran yang diturunkan secara berangsur pada dekade kedua, ketiga dan keempat abad ke-7 tetap dirasakan umat islam sebagai sumber petunjuk, sumber pedoman, dan sumber inspirasi yang segar dan matang. Marilah kita buktikan bahwa Al Quran akan mampu membabat peradaban yang tidak adil sebagaimana yang kita saksikan dia abad ini. Tentu saja harus dengan jihad – dalam arti yang seluas-luasnya.
Persoalannya sekarang adalah: apakah dunia akhirnya akan melirik Al Quran sebagai sumber rujukan paling sejati dari pergantungan spiritual itu, kita pun tidak bisa memastikannya. Apalagi bila kita mengingat kenyataan sosiologis umat masih seperti yang kita saksikan bersama, dimana umat islam yang mengaku mengimani Al Quran yang mayoritas berada dipelukan dunia ketiga yang dililit dengan keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan, tampaknya masih terlalu jauh untuk dijadikan sebagai pencipta dan pembawa obor peradaban segar yang mungkin menjadi altenatif bagi umat manusia. Profesor Abdus Salam dalam artikelnya berjudul, “what the third really needs”, memberikan gambaran yang tajam tentang kondisi dunia sekarang yang ditandai oleh dua macam penyakit.” Penyakit si kaya” dan “penyakit si miskin”, dengan mengatakan:
“sembilan ratus tahun yang lalu, seorang dokter islam terkenal yang tinggal di Bukhara, Asia tengah, Al Asuli, menulis sebuah medical pharmacopeia yang ia bagi menjadi dua bagian, dieses of the rich dan diseases of the poor. Seandainya Al asuli masih hidup dan menulis sekarang, saya percaya ia akan membagi pharmacopeia-nya menjadi dua bagian yang serupa. Satu bagian bukunya akan berbicara tentang ancaman pemusnahan oleh nuklir yang akan berbicara atas kemanusiaan oleh si kaya. Bagian yang kedua dari bukunya akan berbicara tentang penderitaan hebat yang ditanggung si miskin yang jumlahnya separuh dari umat manusia, dibarengi oleh kekurangan makan dan kelaparan. Ia juga akan menambahkan bahwa kedua macam penyakit ini berasal dari sebuah sebab yang sama: kelebihan ilmu dan teknologi pada kasus si kaya, dan kekurangan ilmu dan teknologi pada kasus si miskin. Barangkali ia juga akan menambahkan bahwa masih berlangsungnya jenis penderitaan kedua, keterbelakangan, lebih sulit untuk dipahami, mengingat kemiskinan, penyakit, dan mati awal bagi abad mukjizat ilmiah ini (Abdus Salam, 1988).
Baik pada periode kreatif maupun pada masa perjuangan pembebasan dari kolonialisme, umat islam telah menempatkan AlQuran pada posisi yang cukup sentral sebagai sumber petunjuk, sumber inspirasi, dan umber semangat juang,. Uniknya adalah Al Quran yang diturunkan secara berangsur pada dekade kedua, ketiga dan keempat abad ke-7 tetap dirasakan umat islam sebagai sumber petunjuk, sumber pedoman, dan sumber inspirasi yang segar dan matang. Marilah kita buktikan bahwa Al Quran akan mampu membabat peradaban yang tidak adil sebagaimana yang kita saksikan dia abad ini. Tentu saja harus dengan jihad – dalam arti yang seluas-luasnya.
0 komentar:
Posting Komentar