Peradaban Tanpa Cinta
Empat Belas abad yang lalu, seorang budak hitam dari Ethiopia mampu bertahan ketika disiksa dibawah terik padang pasir gersang dan panas dapat dikatakan bahwa alasannya bertahan karena cinta kepada Tuhan-nya, Budak itu bernama Bilal bin Rhabbah yang tetap mempertahankan kata ahad ketika dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya. Pun dengan Umar Bin Khatab yang rela berkeliling ke stiap pelosok negerinya guna memastikan rakyatnya tidur dalam kondisi yang tiada kekurangan itupun karena cinta (Umar ketika itu menjabat sebagai kepala negara), lalu apa jadinya jika Dunia ini tanpa cinta, sedikit mengutip Rumi “ Jika Tiada Cinta, Dunia akan membeku”(1).
Cinta adalah akar dari segala kebaikan dan keutamaan hidup manusia, namun di zaman yang serba materalistis ini masih kah dapat menemukan cinta yang tulus ikhlas, tentu masih ada, tapi timbul lagi pertanyaan, Dimana?. Melihat kebiasaan manusia zaman ini yang semakin egois dan mementingkan diri sendiri, sulit rasanya mengatakan bahwa cinta masih bijak lestari berkembang diseantero negeri.
Bukankah cinta tu kekuatan yang dapat membuat manusia mampu melakukan hal-hal yang dapat dikatakan luar biasa,contoh dalam paragraf pertama diatas merupakan suatu bentuk real kekuatan cinta itu sendiri, namun di zaman ini manusia sering kali mengecilkan makna cinta, cinta mengalami beribu-ribu penyempitan makna. Cinta yang mulanya besar yang mempersatukan dunia, kini menyempit menjadi cinta yang hanya mencintai negara sendiri dengan berasaskan nasionalisme, kemudian megerucut kembali menjaid cinta yang hanya mementingkan daerah sendiri dalam bingkai cinta tanah air, lalu mengecil kembali menjadi cinta yang hanya mementingkan golongan lalu sampailah cinta ke “titik beku” ke "titik nadir" peradaban sehingga menjadi buih -buih sejarah peradaban.
Akhirnya, akankah dunia yang akan datang dapat menciptakan sebuah tatanan peradaban yang baru yang tambil dengan eksen yang ramah dan toleran? Sulit memang menjawab pertanyaan ini, namun sikap optimis dalam berusaha dan berjuang menjadi tugas bersama yang akan membutuhkan tenaga yang besar dalam perjuangan menuju peradaban baru yang dihiasi dengan cinta disetiap lini kehidupan yang akan menngantikan Peradaban Tanpa Cinta ini.
Butuh Energi yang besar untuk suatu kerja besar, dan butuh jiwa besar dalam mewjudkan kerja besar dan kebesaran hanya dapat diperoleh dengan mendekatkan diri kepada yang maha besar. Orang yang tidak mempunyai apa-apa tidak akan dapat memberikan apa-apa. Karena antara hati dan hati Allah lah yang menjadi pembatasnya. Dan Hati hanya bisa disentuh dengan hati yang lurus. (3)
(1) Syafii Maarif , Peta Bumi Intetektualisme Islam, Bandung, Mizan, 1993, hlm 17.
(2) Puisi Jalaluddin Rumi, Matsnawi.
(3) Salim Qalbu.
Muahmmad Aldrin Julianto
3 Maret 2011
Cinta adalah akar dari segala kebaikan dan keutamaan hidup manusia, namun di zaman yang serba materalistis ini masih kah dapat menemukan cinta yang tulus ikhlas, tentu masih ada, tapi timbul lagi pertanyaan, Dimana?. Melihat kebiasaan manusia zaman ini yang semakin egois dan mementingkan diri sendiri, sulit rasanya mengatakan bahwa cinta masih bijak lestari berkembang diseantero negeri.
Bukankah cinta tu kekuatan yang dapat membuat manusia mampu melakukan hal-hal yang dapat dikatakan luar biasa,contoh dalam paragraf pertama diatas merupakan suatu bentuk real kekuatan cinta itu sendiri, namun di zaman ini manusia sering kali mengecilkan makna cinta, cinta mengalami beribu-ribu penyempitan makna. Cinta yang mulanya besar yang mempersatukan dunia, kini menyempit menjadi cinta yang hanya mencintai negara sendiri dengan berasaskan nasionalisme, kemudian megerucut kembali menjaid cinta yang hanya mementingkan daerah sendiri dalam bingkai cinta tanah air, lalu mengecil kembali menjadi cinta yang hanya mementingkan golongan lalu sampailah cinta ke “titik beku” ke "titik nadir" peradaban sehingga menjadi buih -buih sejarah peradaban.
cinta adalah kekuatan
yang mampu
mengubah duri jadi mawar,
mengubah cuka jadi anggur,
mengubah malang jadi untung,
mengubah sedih jadi riang,
mengubah setan jadi nabi,
mengubah iblis jadi malaikat,
mengubah sakit jadi sehat,
mengubah kikir jadi dermawan
mengubah kandang jadi taman
mengubah penjara jadi istana
mengubah amarah jadi ramah
mengubah musibah jadi muhibah
itulah cinta!(2)
yang mampu
mengubah duri jadi mawar,
mengubah cuka jadi anggur,
mengubah malang jadi untung,
mengubah sedih jadi riang,
mengubah setan jadi nabi,
mengubah iblis jadi malaikat,
mengubah sakit jadi sehat,
mengubah kikir jadi dermawan
mengubah kandang jadi taman
mengubah penjara jadi istana
mengubah amarah jadi ramah
mengubah musibah jadi muhibah
itulah cinta!(2)
Akhirnya, akankah dunia yang akan datang dapat menciptakan sebuah tatanan peradaban yang baru yang tambil dengan eksen yang ramah dan toleran? Sulit memang menjawab pertanyaan ini, namun sikap optimis dalam berusaha dan berjuang menjadi tugas bersama yang akan membutuhkan tenaga yang besar dalam perjuangan menuju peradaban baru yang dihiasi dengan cinta disetiap lini kehidupan yang akan menngantikan Peradaban Tanpa Cinta ini.
Butuh Energi yang besar untuk suatu kerja besar, dan butuh jiwa besar dalam mewjudkan kerja besar dan kebesaran hanya dapat diperoleh dengan mendekatkan diri kepada yang maha besar. Orang yang tidak mempunyai apa-apa tidak akan dapat memberikan apa-apa. Karena antara hati dan hati Allah lah yang menjadi pembatasnya. Dan Hati hanya bisa disentuh dengan hati yang lurus. (3)
(1) Syafii Maarif , Peta Bumi Intetektualisme Islam, Bandung, Mizan, 1993, hlm 17.
(2) Puisi Jalaluddin Rumi, Matsnawi.
(3) Salim Qalbu.
Muahmmad Aldrin Julianto
3 Maret 2011
0 komentar:
Posting Komentar