Review Novel Bumi Manusia
Judul : Bumi Manusia
Penulis : Pramodya Ananta Toer
Penerbit : Lentera di Pantara
Jumlah halaman : 536
"Kita telah melawan nak!, sekuat-kuatnya sehormat - hormatnya"
Minke seorang anak bupati keturunan priyayi jawa yang sekolah di HBS, sekolah yang cukup bergengsi bagi seorang pribumi dimasa penjajahan kolonial.
Ia sudah harus berhadapan dengan berbagai permasalahan kemanusian yang begitu kompleks, mulai dari pembodohan yang terus menerus dilakukan Belanda terhadap jajahannya, Hindia Belanda, diskriminasi antara keturunan Indo, Totok atau pribumi serta masalah budaya feodalisme, ya! melawan budaya feodal sama berarti melawan terhadap nenek moyang, melawan terhadap ayahnya sendiri, seorang Raja kecil, Bupati.
Dibawah bimbingan sahabatnya Jean Marais seorang pelukis bekas veteran perang Aceh, rasa humanisme semakin menebal, ia pegang betul kata-kata sahabatnya tersebut "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan", pun juga melalui gurunya seorang Humanis Liberal, Jufrow Magda Petters, ia mulai berkenalan dengan alam pikiran Multatuli, sama seperti Multatuli ia percaya bahwa tugas/kewajiban utama manusia adalah menjadi manusia.
Dalam perjalanannya, hatinya terpaut dengan Annelies Mellema, seorang indo berjiwa pribumi keturunan seorang Tuan tanah Belanda, Herman Mellema dan gundiknya, "nyai" Ontosoroh. Minke, annalies dan nyai ontosoroh terus berupaya melawan, melawan kekuasaan eropa, melawan kekuasaan kolonial. Tulisan - tulisannya mulai terbaca diberbagai koran, dan didengar oleh kaum terpelajar, korenpondensinya dengan Herbert, Sarah, Miriam De La Croix semakin mengasah jiwa intelektualnya dan ia semakin merdeka.
Gambaran cerita diatas sudah dapat kita bayangkan, bahwa sang penulis, Pramodya Ananta Toer mengajak kita kembali untuk membaca sejarah Indonesia, membaca Indonesia di zaman kolonial, Tahun 1899 tepatnya. Sebuah bacaan yang penuh dengan suguhan perjuangan, perlawanan dan cinta kemanusiaan yang begitu tinggi. Dan tentang sang penulis, saya kira wajar kalau ia menjadi langganan finalis peraih nobel sastra dunia.
Persembahan dari Indonesia untuk dunia.
Recommended!
Penulis : Pramodya Ananta Toer
Penerbit : Lentera di Pantara
Jumlah halaman : 536
"Kita telah melawan nak!, sekuat-kuatnya sehormat - hormatnya"
Minke seorang anak bupati keturunan priyayi jawa yang sekolah di HBS, sekolah yang cukup bergengsi bagi seorang pribumi dimasa penjajahan kolonial.
Ia sudah harus berhadapan dengan berbagai permasalahan kemanusian yang begitu kompleks, mulai dari pembodohan yang terus menerus dilakukan Belanda terhadap jajahannya, Hindia Belanda, diskriminasi antara keturunan Indo, Totok atau pribumi serta masalah budaya feodalisme, ya! melawan budaya feodal sama berarti melawan terhadap nenek moyang, melawan terhadap ayahnya sendiri, seorang Raja kecil, Bupati.
Dibawah bimbingan sahabatnya Jean Marais seorang pelukis bekas veteran perang Aceh, rasa humanisme semakin menebal, ia pegang betul kata-kata sahabatnya tersebut "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan", pun juga melalui gurunya seorang Humanis Liberal, Jufrow Magda Petters, ia mulai berkenalan dengan alam pikiran Multatuli, sama seperti Multatuli ia percaya bahwa tugas/kewajiban utama manusia adalah menjadi manusia.
Dalam perjalanannya, hatinya terpaut dengan Annelies Mellema, seorang indo berjiwa pribumi keturunan seorang Tuan tanah Belanda, Herman Mellema dan gundiknya, "nyai" Ontosoroh. Minke, annalies dan nyai ontosoroh terus berupaya melawan, melawan kekuasaan eropa, melawan kekuasaan kolonial. Tulisan - tulisannya mulai terbaca diberbagai koran, dan didengar oleh kaum terpelajar, korenpondensinya dengan Herbert, Sarah, Miriam De La Croix semakin mengasah jiwa intelektualnya dan ia semakin merdeka.
Gambaran cerita diatas sudah dapat kita bayangkan, bahwa sang penulis, Pramodya Ananta Toer mengajak kita kembali untuk membaca sejarah Indonesia, membaca Indonesia di zaman kolonial, Tahun 1899 tepatnya. Sebuah bacaan yang penuh dengan suguhan perjuangan, perlawanan dan cinta kemanusiaan yang begitu tinggi. Dan tentang sang penulis, saya kira wajar kalau ia menjadi langganan finalis peraih nobel sastra dunia.
Persembahan dari Indonesia untuk dunia.
Recommended!
0 komentar:
Posting Komentar